Berisi informasi tentang museum-museum di Jakarta, Kawasan Kotatua, dan Jakarta Tempo Doeloe

Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Jumat, 19 Juni 2009

Menunggu Kota Tua Nyaman dan Tertib


Oleh NELI TRIANA


Kawasan Kota Tua di Jakarta Barat merupakan tonggak awal berkembangnya Batavia yang kini menjelma menjadi Jakarta. Sebuah kota dengan bangunan bergaya arsitektur Indis tepat di pinggir Kali Ciliwung ini memang selalu menjadi kawasan bisnis nan sibuk.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Pemandangan di sekitar Kali Besar, Jakarta Barat, yang membelah kawasan Kota Tua, beberapa waktu lalu. Kali Besar merupakan salah satu kanal terusan Sungai Ciliwung yang dibangun oleh Belanda yang mengelilingi Benteng Batavia.

Perbedaannya, setelah mengarungi waktu selama hampir 500 tahun, rupa cantik Kota Tua yang memadukan seni bangunan gaya barat dan Indonesia kini kian memudar. Tata ruang yang dulu menyeimbangkan antara bangunan, taman, dan jalan, sekarang hanya kumpulan bangunan tua yang rusak keropos. Kondisi sekitarnya pun semrawut dan kotor.

Padahal, sudah sejak tahun 1970-an, revitalisasi Kota Tua dicanangkan, tetapi hasilnya, kawasan ini selalu tampak seperti daerah yang terabaikan. Wisatawan pun enggan mampir.

Sesuai data dari Dinas Pariwisata, Kebudayaan, dan Permuseuman DKI, jumlah wisatawan per tahun hanya sekitar 140.000 orang. Sebagian besar wisatawan tercatat selalu mengeluhkan soal keamanan, kebersihan, dan ketertiban di Kota Tua yang jauh dari ketentuan standar.

Berdasarkan data kunjungan wisatawan di beberapa museum dan obyek kunjungan di Kawasan Kota Tua, seperti di Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah), Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Museum Bahari, pengunjung yang datang rata-rata adalah peminat khusus atau siswa sekolah.

”Saya memang suka dengan tempat-tempat kuno seperti ini. Apalagi, saya sedang gencar latihan fotografi. Macet atau kumuh tidak masalah untuk saya,” kata Alan Sinatryo, fotografer amatir, saat ditemui di depan Museum Fatahillah, Sabtu (16/5).

Wisatawan minat khusus, seperti Alan, memang tidak terlalu memerhatikan kondisi sekitar obyek yang dituju. Berbeda dengan wisatawan umum yang amat memerhatikan kenyamanan selama perjalanan dan saat di lokasi. Tentu saja jumlah wisatawan minat khusus ini masih amat terbatas. Tidak heran, dalam satu tahun jumlah pengunjung Kota Tua hanya 140.000 orang.

Tidak tertanganinya masalah keamanan, ketertiban, dan kebersihan membuahkan masalah lain, seperti kemacetan lalu lintas yang tak terpecahkan. Angkutan umum, baik mikrolet, metromini, maupun bus besar dan bus transjakarta, melalui kawasan ini dari arah Jalan Hayam Wuruk, di mana terdapat pasar elektronik Glodok, dan dari Mangga Dua. Tepat di persimpangan sebelum menuju Museum Fatahillah, arus lalu lintas dari dan ke arah Stasiun Kota, Pasar Asemka, Mangga Dua, dan Glodok bertemu.

Tak ketinggalan sepeda motor dan mobil-mobil pribadi yang turut berdesakan di tengah lautan kendaraan itu. Sampah masih bertebaran di setiap sudut. Belum lagi kawasan kumuh di terminal mikrolet dekat Jembatan Kota Intan atau sekitar Stasiun Kampung Bandan maupun di Asemka dan Glodok.


Ekonomi kreatif

Upaya menata Kota Tua sebenarnya dilakukan sejak masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977). Kala itu, Kota Tua ditetapkan sebagai kawasan konservasi sekaligus obyek wisata seluas 864 hektar yang mencakup wilayah Jakarta Kota dari seputar Glodok hingga Pelabuhan Sunda Kelapa.

”Namun, penataan dan renovasi memang selalu terpusat di sekitar Fatahillah saja,” kata Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, dan Permuseuman DKI Arie Budhiman, pertengahan Mei lalu.

Selama lima tahun terakhir, berdasarkan data dari Dinas Pariwisata, Kebudayaan, dan Permuseuman DKI, sedikitnya tiga kali dilakukan renovasi di sekitar Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Sebuah lorong bawah tanah pun telah dibangun menghubungkan Museum Bank Mandiri, Stasiun Kota Tua, selter bus transjakarta, dan Museum Sejarah. Terakhir, April lalu, mulai diberlakukan pembebasan beberapa jalan di tengah Kota Tua dari lalu lalang kendaraan bermotor.

Akan tetapi, semua upaya itu belum memberi dampak berarti, khususnya dalam menjadikan Kota Tua tertata apik dan menarik minat wisatawan. Berdirinya Unit Pengelolaan Teknis Kota Tua sejak 2004 juga tidak kuasa mengatur kawasan tersebut menjadi lebih nyaman. Padahal, pada 2008, dana sebesar Rp 110 miliar dari APBD DKI diguyurkan untuk program revitalisasi kawasan Kota Tua.

Berdasarkan pada fakta-fakta itu, Arie sadar bahwa revitalisasi Kota Tua selama ini ternyata belum menyentuh dasar masalah, yaitu mewujudkan Kota Tua yang aman, tertib, dan bersih. Untuk itu, ia merencanakan agar pengelolaan Kota Tua ke depan berbasis manajemen sumber daya budaya.

Direktur Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajat, Rabu, menambahkan, kunci utama keberhasilan mengelola Kota Tua adalah pada pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya. Selain itu, pengelolaan harus berdasarkan desain matang (by design), bukan berubah-ubah (management by accident).

”Kota Tua juga harus dilihat sebagai sebuah kawasan besar, tidak hanya terbatas pada Museum Fatahillah dan bangunan-bangunan tua lainnya. Pemecahannya, yaitu harus melihatnya sebagai kawasan yang terintegrasi,” kata Hari.

Kota Tua tidak terlepas dari kawasan Glodok, Kota Intan, hingga Pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya. Untuk itu, kata Hari, pencanangan Kota Tua sebagai kawasan yang dilestarikan dan direvitalisasi harus diperluas. Hal ini disebabkan Kota Tua memang sebuah kawasan terintegrasi dan mewakili perkembangan kota hingga kini.

Jadi, kata Hari, yang bisa dijual sebagai obyek wisata adalah sisi perkembangan Kota Jakarta kuno hingga modern ini. Di kawasan ini, bisa terlihat adanya sungai sebagai poros kota, benteng, kawasan Pecinan, perdagangan, pusat pemerintahan, dan permukiman. Membawa wisatawan mengembara mengenang dan melihat bagaimana Jakarta berkembang tentu amat menarik.

Di Kota Tua, tercatat selain 284 bangunan yang bersejarah, Pasar Glodok juga telah ada sejak tahun 1740. Pada perkembangannya kini, Kota Tua diperkaya dengan adanya Pasar Asemka yang merupakan pasar pusat perhiasan imitasi dan kosmetik serta Mangga Dua sebagai pusat fashion. Semua itu bisa menambah kekhasan Kota Tua.

Hari menambahkan, sebagai langkah awal, Pemprov DKI bisa mengoptimalkan potensi yang sudah ada. Menurutnya, yang pertama perlu dilakukan adalah lalu lintas di sekitar Kota Tua harus tegas ditertibkan. Di sana sudah tersedia banyak gedung tinggi dengan lahan parkir cukup luas, seperti di Glodok dan Lindeteves. Silakan kendaraan pribadi parkir di sana dan meneruskan perjalanan dengan kendaraan umum yang ada.

”Di sini, Dinas Perhubungan dan Dinas Tata Kota disarankan mengatur rute angkutan umum sehingga bisa melayani hingga ke seluruh kawasan Kota Tua,” kata Hari.

Ide sederhana ini, kata Hari, bisa menjadikan Kota Tua sebagai oase di tengah Jakarta yang panas dan semrawut. Jadi, mampukah DKI mewujudkannya?

(Kompas, Kamis, 18 Juni 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kontak

Your Name :
Your Email :
Subject :
Message :
Image (case-sensitive):